Daily News 16/03
March 16, 2021 No. 1919
[Indonesia] - Neraca Dagang Februari 2021 Mengalami Surplus Neraca perdagangan Indonesia kembali mencetak surplus pada bulan Februari 2021. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, surplus neraca dagang pada bulan lalu sebesar US$ 2,00 miliar. Kepala Badan Pusat Statistik, Suhariyanto, mengatakan, surplus neraca perdagangan pada bulan lalu disebabkan oleh nilai ekspor yang lebih besar daripada nilai impor. Terperinci, nilai ekspor pada bulan Februari 2021 tercatat US$ 15,27 miliar. Sementara, nilai impor pada tahun lalu sebesar US$ 13,26 miliar. Dengan perkembangan tersebut, neraca perdagangan Indonesia secara kumulatif bulan Januari 2021 hingga bulan Februari 2021 mencetak surplus US$ 3,96 miliar. Surplus ini bahkan jauh lebih besar dibandingkan dengan posisi Januari dan Februari 2020 yang pada waktu itu surplus SS$ 1,88 juta. Ke depan, Suhariyanto berharap agar perkembangan ekspor dan impor lebih baik lagi. Tak hanya itu, ia juga berharap neraca perdagangan masih bisa mencetak surplus ke depannya. (Source: Kontan) [Amerika Serikat] - Sentimen Konsumen AS Melonjak Sentimen konsumen Universitas Michigan untuk Amerika Serikat melonjak menjadi 83 pada Maret 2021 dari 76,8 pada Februari, mengalahkan perkiraan pasar sebesar 78,5. Ini adalah pembacaan tertinggi sejak Maret 2020, karena meningkatnya jumlah vaksinasi serta langkah-langkah bantuan Biden yang diantisipasi secara luas. Angka kondisi saat ini dan ekspektasi meningkat, yaitu masing-masing sebesar 91,5 dan 77,5. Juga, ekspektasi inflasi untuk tahun depan melambat sebesar 3,1% sementara prospek 5 tahun datar diangka 2,7%. Secara keseluruhan, data menunjukkan pertumbuhan yang kuat dalam belanja konsumen selama tahun depan, dengan persentase keuntungan terbesar untuk layanan, termasuk perjalanan dan restoran, dan kenaikan terkecil untuk kendaraan dan rumah. (Source: Trading Economics) [China] - Ekonomi China Melonjak Di Tengah Pertumbuhan Ekonomi Yang Belum Merata Aktivitas ekonomi China mencatat lonjakan dalam dua bulan pertama tahun ini. Hal ini menjadi angin segar bagi negeri tirai bambu untuk menutupi pemulihan yang tidak merata, setahun setelah menjadi negara yang memberlakukan karantina wilayah pertama di dunia. Data resmi yang dirilis Senin menunjukkan tingkat pertumbuhan yang menakjubkan, lebih dari 30% untuk indikator utama. Sebagian besar disebabkan oleh distorsi jika dibandingkan dengan penutupan tahun lalu. Namun, momentum yang mendasarinya menunjukkan peningkatan yang terjadi pada jalur dua kesempatan, dengan hasil industri dan permintaan ekspor yang kuat serta pemulihan konsumen yang lambat. Produksi industri melonjak 35,1% pada Januari-Februari dari tahun sebelumnya, dibandingkan dengan perkiraan median sebesar 32,2% dalam survei ekonom Bloomberg. Penjualan ritel naik 33,8% dalam periode tersebut, dibandingkan perkiraan 32%. Investasi aset tetap naik 35%, jauh di bawah proyeksi 40,9%. Tingkat pengangguran adalah 5,5% pada akhir Februari, naik 5,2% pada Desember 2020. Pertumbuhan investasi yang lebih lemah dari perkiraan dan peningkatan pengangguran menunjukkan pemulihan yang tidak merata. Sementara itu, belanja konsumen meningkat, meski rebound dalam penjualan ritel tidak sekuat produksi industri. Pertumbuhan rata-rata penjualan ritel dalam dua bulan pertama tahun ini adalah 3,2% lebih tinggi dari periode yang sama pada 2019, dibandingkan dengan 8,1% untuk hasil industri, menurut Biro Statistik Nasional. Meski demikian, China masih menjadi satu-satunya negara ekonomi besar yang berhasil keluar dari pandemi setelah pengendalian awal atas virus dan ditopang oleh melonjaknya permintaan global untuk barang-barang medis dan perangkat kerja dari rumah. Ekonomi China tercatat tumbuh 2,3% pada tahun 2020 dan diperkirakan oleh para ekonom bakal meningkat ke level 8,4% tahun ini. Adapun, pemerintah China menargetkan pertumbuhan yang lebih konservatif yakni di atas 6% tahun ini, yang memungkinkan para pejabat untuk fokus pada pengelolaan risiko keuangan dalam perekonomian. Antara lain menurunkan utang dan mengekang penggelembungan aset. Beijing telah mengisyarakatkan ingin mengurangi stimulus pandemi, dengan analis memperkirakan penurunan bertahap dalam dukungan moneter dan fiskal. Awal tahun 2021 bisa menjadi tahun yang berat bagi China meskipun bisa dilalui dengan cepat. Kondisi ini menempatkan ekonomi pada jalur yang baik untuk dengan mudah mencapai target pertumbuhan di atas 6% untuk tahun 2021. Dukungan fiskal nampaknya juga akan ditarik kembali secara bertahap, yang seharunys bisa tetap menopang perekonomian. Latar belakang ini dapat mengurangi kemungkinan pelonggaran ekonomi secara luar di sisi moneter. (Source: Kontan) [Jepang] - Pesanan Mesin Jepang Mengalami Penurunan Pesanan mesin inti di Jepang, yang tidak termasuk untuk kapal dan dari perusahaan tenaga listrik, turun 4,5% pada Januari 2021 dari bulan sebelumnya dan jika dibandingkan dengan ekspektasi pasar turun 5,5%. Itu adalah penurunan pertama dalam empat bulan, yang didorong oleh penurunan pesanan manufaktur (-4,2%) dan pesanan non-manufaktur (-8,9%). Dalam skala tahunan, pesanan mesin inti meningkat 1,5% setelah naik 11,8% di bulan Desember dan dibandingkan dengan ekspektasi pasar turun 0,2%. (Source: Trading Economics)