Daily News 07/05
May 07, 2021 No. 1956
[Indonesia] - Sri Mulyani Kerek Suntikan Dana Ke Daerah Hingga Rp 845,3 Triliun Pada 2022 Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan pemerintah pusat akan memberikan suntikan dana ke daerah berupa transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sekitar Rp 775,8 triliun hingga Rp 845,3 triliun di tahun 2022. Angka tersebut naik sekitar 4,33% sampai 4,66% dari pagu anggaran TKDD dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sejumlah 795,5 trilun. Tahun ini TKDD hanya naik 4,48% dari pagu tahun sebelumnya. Kendati TKDD naik, Bendahara Negara itu punya strategi agar uang yang diterima oleh pemerintah daerah dapat digunakan lebih efektif. Caranya dengan meningkatkan kualitas belanja daerah. Sri Mulyani menyampaikan bersama dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pihaknya akan mendorong penggunaan dana alokasi umum (DAU) dan dana bagi hasil (DBH) agar digunakan untuk peningkatan kualitas layanan publik. Sehingga, harapannya DAU dan DBH tidak hanya dihabiskan untuk birokrasi saja. Selain itu, pemerintah pusat akan mengarahkan pemerintah daerah agar menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) difokuskan untuk pemulihan ekonomi daerah. Selain itu, mekanisme dana transfer khusus terutama alokasi khusus (DAK) fisik akan berlangsung menggunakan basis kontrak. Tujuannya untuk meminimalisasi kas daerah yang mengendap di perbankan atau dana idle. Sementara itu, untuk DAK non fisik akan diarahkan untuk menunjang kesehatan dan pendidikan di daerah, sejalan dengan reformasi di Kementerian Pendidikan serta Kementerian Kesehatan. Harapannya, output pendidikan dan kesehatan di daerah makin baik di tahun depan. (Source: Kontan) [Amerika Serikat] - Biden Bersedia Menerima Tarif Pajak Perusahaan 25% Untuk Danai Belanja Infrastruktur Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengatakan tarif pajak perusahaan antara 25% dan 28% dapat membantu membiayai infrastruktur yang sangat dibutuhkan, menunjukkan ia dapat menerima tarif yang lebih rendah dari yang diusulkan. Cara Biden membayar untuk ini, adalah memastikan bahwa perusahaan terbesar tidak membayar nol, dan mengurangi pemotongan pajak (perusahaan 2017) menjadi antara 25% dan 28%. Dalam rencana anggaran infrastruktur senilai US$ 2,3 triliun, presiden Demokrat pada awalnya mengusulkan untuk menaikkan tarif pajak perusahaan dari 21% menjadi 28%. Pakar pajak dan asisten kongres mengatakan kepada Reuters pada bulan April bahwa tarif 25% kemungkinan akan menjadi kompromi. Tarif pajak perusahaan AS turun menjadi 21% dari 35% setelah pemotongan pajak 2017 yang didorong oleh Presiden Donald Trump dan rekan-rekannya dari Partai Republik, tetapi banyak perusahaan besar AS membayar jauh lebih sedikit. Anggota Kongres dari Partai Republik menentang usulan Biden sebesar US$ 2,25 triliun untuk belanja infrastruktur selama satu dekade, dengan mengatakan bahwa pajak yang lebih tinggi yang akan dikenakan pada perusahaan untuk mendanai itu akan membebani pekerjaan dan memperlambat ekonomi. Trump mengatakan kenaikan pajak pada perusahaan dapat mendorong beberapa orang untuk pindah ke luar negeri untuk mencari lingkungan pajak yang lebih baik. Ekonomi AS. telah berkembang pesat di bawah tingkat pajak perusahaan yang lebih tinggi, seperti pada tahun 1960-an dan 1990-an. Di Senat yang terpecah belah, Biden akan membutuhkan setiap suara Demokrat jika tidak ada Partai Republik yang mendukung RUU tersebut. Biden mengatakan di Lake Charles dia bertemu dengan Partai Republik di Kongres untuk melihat ""seberapa besar keinginan mereka, apa yang mereka pikirkan sebagai prioritas, dan kompromi apa"" yang dapat mereka tawarkan. Beberapa Partai Republik telah menawarkan paket yang jauh lebih kecil: US$ 568 miliar, difokuskan pada jalan, jembatan, akses broadband dan perbaikan air minum. Namun, sebagian besar mencerminkan uang yang diharapkan akan dikeluarkan oleh pemerintah federal untuk infrastruktur itu. Pemimpin Minoritas Senat AS Mitch McConnell memperkirakan pekan lalu bahwa anggaran infrastruktur dan rencana pekerjaan Biden tidak akan mendapat dukungan dari anggota parlemen Republik. (Source: Kontan) [China] - China Frustrasi Hadapi Australia, Dialog Ekonomi Dibatalkan China mengumumkan bahwa pihaknya menangguhkan dialog ekonomi dengan Australia dalam langkah yang sebagian besar bersifat simbolis untuk menandakan semakin frustrasinya Beijing terhadap Canberra. Dilansir Bloomberg, Kamis (6/5/2021), Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa pihaknya menghentikan semua kegiatan tanpa batas waktu di bawah Dialog Ekonomi Strategis China-Australia. Meskipun kedua belah pihak telah mengadakan tiga putaran pembicaraan di bawah mekanisme tersebut sejak 2014, perundingan itu belum dilakukan lagi sejak September 2017. Dolar Australia turun sebanyak 0,6 persen menjadi 77 sen AS. Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia tidak segera menanggapi permintaan komentar. Australia memutuskan bulan lalu untuk membatalkan perjanjian antara Belt and Road Initiative China dan negara bagian Victoria, pukulan terbaru terhadap hubungan dengan mitra dagang terbesar negara itu. Hubungan antara kedua belah pihak telah memburuk ketika Beijing membatasi impor dari Australia setelah upaya Canberra untuk membatasi akses Huawei Technologies Co dan upaya penyelidikan ke dalam asal-usul pandemi virus Corona. Beberapa pejabat pemerintah Australia mengambil tindakan untuk mengganggu pertukaran normal dan kerja sama antara China dan Australia karena sesuatu yang mereka sebut pola pikir Perang Dingin dan diskriminasi ideologis. Australia juga sedang meninjau apakah akan memaksa perusahaan China untuk menjual sewa ke pelabuhan penting yang secara strategis digunakan oleh Marinir AS, sebuah langkah yang selanjutnya dapat memicu ketegangan dengan Beijing. China dan Australia belum mengadakan pertemuan tingkat menteri sejak para menteri luar negeri bertemu di Beijing pada Januari 2019. (Source: Bisnis.com) [Jepang] - Suku Bunga di Jepang Minus 0,1%, BoJ Bakal Pangkas Lagi? Rilis notula rapat kebijakan moneter bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ) hari ini, Kamis (6/5) menunjukkan para anggota dewan sepakat mempertahankan suku bunga di level terendah, sementara perekonomian masih tertekan akibat pandemi penyakit virus corona (Covid-19). Rilis notula tersebut bisa dikatakan kurang update, sebab merupakan detail dari rapat kebijakan moneter bulan Maret lalu, sementara BoJ sudah melakukan rapat kebijakan moneter lagi di bulan April. Meski demikian, rilis notula tersebut tetap menunjukkan hal yang menarik. Satu anggota dewan BoJ mengatakan saat ini risiko terjadinya deflasi lebihg besar ketimbang inflasi, sebab ekspektasi kenaikan upah yang masih lemah. BoJ saat itu tetap mempertahankan suku bunga acuan -0,1%, dan kebijakan yield curve control yang mempertahankan yield obligasi tenor 10 tahun di dekat 0%. BoJ pertama kali menerapkan suku bunga negatif pada Januari 2016, artinya sudah lebih dari 5 tahun yang lalu. Tujuannya adalah untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan mencapai target inflasi 2%. Sayangnya, BoJ masih belum mencapai target tersebut, bahkan inflasi di Jepang malah diprediksi akan lebih rendah lagi akibat pandemi Covid-19. Dalam outlook terbaru yang diberikan April lalu, BoJ memproyeksikan inflasi inti di tahun fiskal 2021 yang dimulai bulan ini sebesar 0,1%, turun jauh ketimbang proyeksi yang diberikan bulan Januari lalu sebesar 0,5%. Penurunan proyeksi inflasi tersebut terjadi akibat pandemi Covid-19 yang melanda Jepang, bahkan memburuk lagi belakangan ini. Inflasi inti di tahun fiscal 2022 diperkirakan sebesar 0,8% dan tahun selanjutnya 1%. Artinya suku bunga negatif di Jepang masih akan bertahan untuk waktu yang lama, bahkan ada peluang diturunkan lebih dalam lagi. Artinya ada kemungkinan suku bunga -0,1% diturunkan lebih dalam lagi. Apalagi dengan kondisi saat ini, dimana kasus Covid-19 kembali meningkat. (Source: CNBC Indonesia)